SEMARANG, 3 November 2025 – Bank Indonesia (BI) bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro (Undip) telah menyelesaikan rangkaian riset kolaboratif yang menegaskan kebermanfaatan teknologi biochar dalam mendukung peningkatan produktivitas pertanian sekaligus mitigasi perubahan iklim. Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) ke-2 bertema “Kajian Penggunaan Teknologi Climate Smart Agriculture (CSA) – Biochar untuk Meningkatkan Produktivitas Pertanian Padi” yang dilaksanakan pada Senin (3/11) di Hotel Aruss Semarang merupakan puncak dari keseluruhan kegiatan riset. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan BI, Kementerian Pertanian, Kemenko Pangan, BRIN, Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan, PT WasteX, serta kelompok tani dari enam kecamatan di Grobogan.

Riset ini dilaksanakan oleh tim peneliti Undip yang diketuai oleh Prof. Florentina Kusmiyati, dengan anggota Albertus Fajar Irawan, Ph.D., Anasrullah, S.P., M.S., Fatikhah Nurul Fajri, S.P., M.P., Muhammad Iqbal Fauzan, S.P., M.Si., Nani Kitti Sihaloho, M.P., dan Septrial Arafat, S.P., M.P. Hasil riset menunjukkan bahwa teknologi biochar (arang hayati) memiliki kebermanfaatan ganda. Dari sisi pertanian, aplikasi biochar terbukti meningkatkan produktivitas gabah kering panen. Peningkatan ini didukung oleh perbaikan nyata pada komponen pertumbuhan tanaman, seperti bertambahnya jumlah anakan dan persentase bulir terisi. Dari sisi lingkungan, kajian mengonfirmasi bahwa biochar berperan sebagai pembenah tanah yang efektif. Aplikasi biochar terbukti memperbaiki kualitas tanah, termasuk menstabilkan pH dan meningkatkan ketersediaan unsur hara penting seperti Fosfor. Temuan signifikan lainnya adalah kemampuan biochar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama gas metana, secara drastis dari lahan sawah.

Meskipun data menunjukkan kebermanfaatan yang nyata, diskusi menggarisbawahi tantangan implementasi di tingkat petani. Perwakilan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dari enam kecamatan (Klambu, Godong, Gubug, Karangrayung, Grobogan, dan Penawangan) menyuarakan dua aspirasi utama: Harga: Harga biochar komersial (sekitar Rp 3.400/kg) dinilai masih terlalu tinggi dan belum terjangkau. Edukasi: Petani di tingkat bawah masih kekurangan pemahaman dan sering menerima misinformasi. Mereka meminta edukasi masif mengenai fungsi dan mekanisme biochar yang sebenarnya.

Menjawab tantangan tersebut, Prof. Neneng, ahli biochar dari BRIN, meluruskan pemahaman. “Biochar ini bukan pupuk, sehingga tidak memberi hasil instan. Ini adalah pembenah tanah,” tegasnya. Ia menjelaskan bahwa aplikasi 5 ton/ha di awal dapat memperbaiki kualitas tanah hingga empat musim tanam. Sinergi antar pemangku kepentingan langsung terbentuk. Nabila dari PT WasteX (produsen biochar) menyatakan siap mengeksplorasi diskon harga 50% (menjadi Rp 1.700/kg) untuk pembelian pertama. Menanggapi hal itu, Wakid Mutowal dari Dinas Pertanian Grobogan menegaskan, “Kami siap mengarahkan PPL untuk mengedukasi masyarakat dan berkolaborasi dengan WasteX.” Koordinator Penyuluh Kementan, Sri Mulyani, menambahkan pentingnya sinergi ini agar petani “tidak terpaku pada hasil instan pupuk sintetis.”

Deputi Direktur Bank Indonesia, Heru Rahadyan, menyatakan temuan ini dapat mengurangi ketergantungan pupuk bersubsidi. Ia juga menyoroti inovasi BI-Green, yakni pengolahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) menjadi biochar bernilai tambah. Sebagai visi jangka panjang, Asisten Deputi Kemenko Pangan, Kus Prisetiahadi, mengusulkan dua skema strategis untuk menekan harga. Pertama, model tukar bahan baku (petani setor sekam). Kedua, skema subsidi harga melalui carbon offsetting. “Nantinya, produsen biochar dapat menjual kredit karbon mereka ke industri, dan hasilnya digunakan untuk mensubsidi harga biochar bagi petani,” jelas Kus Prisetiahadi. FGD ini ditutup dengan kesepakatan untuk memperluas demplot, menggiatkan edukasi PPL, dan menindaklanjuti model bisnis baru untuk memastikan kebermanfaatan biochar dapat dirasakan oleh petani.